Arjunanto: Sastra Jendra dan Agama Rasul

tarian jawa-1885Penulis: Tommy Arjunanto – Labete Tan Kena Keri,Dzat kang Tanpa Kumpulan Kahanane Ora Ana,Ya Ingsun Sejatine Ora Ana Apa-Apa. – Panembahan Senapati – ‘Aku’ dan ‘Ada’ tak hanya dikukuhkan oleh Descartes. Dibelahan lain dunia pada abad yang sama, pendiri dinasti Mataram Islam mengukuhkannya dalam bait-bait syair

IBU JENDRA. Substansi yang sejati adalah keseluruhan Dzat yang membentuk semesta, demikian dituturkan. Semesta yang terus berevolusi menuju kesempurnaan. Dan wahana dari kesempurnaan semesta mewujud dalam diri manusia, pan ingsun dzat Allah kang jumeneng pusering jagad angingkut sakehing arupa warna, karut dening aku kabeh.

Tanpa adanya Dzat yang berkumpul tidak akan pernah terbentuk suatu ‘kesadaran’, hanyalah awang-uwung, kosong belaka. Manusialah, subyek, pusat pemaknaan, yang mempunyai kemampuan wruh ing anane dhewe, yang mampu berkata : Aku…Ada. Jadi ‘ada’ adalah subyektif, kesadaran yang melahirkan angan-angan dan pemikiran, yang memunculkan kata-kata dan bahasa sebagai penanda.

Namun bahasa tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Urip tan kena kinaya ngapa, menjadi ungkapan kearifan leluhur nusantara, bahwa tiada finalitas definisi, karena dalam subyektifitas, makna menjadi plural. Dan dengan kerendahhatian terhadap pluralitas makna, para leluhur menggunakan metaphor, sanepan-sanepan seperti : galihing kangkung, tipaking kontul mabur, oyoting bayu bajra, gigiring punglu. Demi menghadirkan ‘Yang Lain’ yang dengan tulus disapa sebagai ’Liyan’. Merayakan segala ‘kemungkinan’ dimana hidup menjadi penuh harapan. Salah satu harapan, tertulis dalam bait-bait berikut :

Sejatining manungsa saka wiji pinilih,
kang coplok saka nggantangan,
cumlorot marang jaman lega dadi,
kinurung dening biru,kinupeng dening budheng,
cleng cumleng cleleng amleng rasanira kalawan dhewe.

Bahwasanya secara fitrah manusia selalu sama satu dengan lainnya. Makhluk pinilih yang mempunyai rasa pangrasa yang sama. Insan yang merasakan sedih, kecewa, lapar, dahaga, gembira, bahagia. Fitrah yang coba dirampas menggunakan dogma dan senjata iman. Sehingga sedihmu bukanlah sedihku, murtadmu hidayahku dan boleh jadi Allahmu Iblisku.

IBU JENDRA menjadi bentuk perlawanan Jawa terhadap hegemoni pemikiran (agama) Timur Tengah yang dikampanyekan para Wali dan dilegitimasi menjadi Kerajaan Bintoro. Pemikiran yang sejatinya meringkus hidup dengan menciptakan menara gading pencapaian manusia sekaligus menafikan pencapaian manusia lain. Pembelaan Jawa tergurat jelas dalam syair-syair selanjutnya :

Allah aku suci, aku bunyi suci,
Teka geg arane jisim, mani kang jumeneng neng dana rasa
Sak mosike para nabi para wali dadi angen-angenku kabeh.

Wong Agung Ngeksiganda tak hendak tunduk, paneteg panatagama senyatanya sebuah revolusi kultur, kini agama tak lagi di atas segalanya, kembali kepada fitrahnya sebagai ageming aji, agama Rasul, agama Rasa, ialah ISLAM SEJATI.

Tommy Arjunanto

Link profile:tomyarjunanto

30/05/2013 at 11:00

Keterangan gambar: Tarian Jawa tahun 1885, koleksi Tropen Museum.

Satu respons untuk “Arjunanto: Sastra Jendra dan Agama Rasul

Nama, mail dan website BOLEH diKOSONGkan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.