Front Pembela Pohon

Kisah heroik, tewas dengan gagah perkasa demi membela agama, membela kitab suci  ataupun membela Tuhan pasti sudah biasa Anda dengar atau bahkan mungkin bosan membacanya. Tapi kalau mati demi membela pohon? Hmmm…. sepertinya rada aneh bukan? Nah, dipertengahan bulan ini saya mencoba mengangkat topik unik yang mungkin belum pernah Anda dengar yaitu orang atau kelompok yang rela mati demi membela pohon.

:mrgreen: Ah, yang benar nih Mbah. Ini cerita fiksi atau semacam sindiran bukan?

Semprul, sindiran apaan? Ini kisah nyata Nak. Tapi kalau judul tulisan ini rada mirip dan rada nyindir ya anggap saja kebetulan. Maklum, siMbah rada bego kalau bikin judul.  Lagian ini khan cuma blog abal abal, jadi judul kagak perlu bagus bagus amat. Dibuat bagus juga toh kagak ada yang baca dan juga kagak jadi duit! (Ha..ha.. kagak nyambung!).

Kembali ke topik, Front Pembela Tuhan, contohnya adalah para laskar atau tentara pada Perang Salib, sedangkan Front Pembela Pohon contohnya ada pada tulisan di bawah ini.

Komunitas Bishnois – Sang Pembela Pohon

Komunitas Bishnois, kelompok kecil masyarakat  yang hidup berkelompok di beberapa wilayah negeri India sangat layak disebut sebagai Front Pembela Pohon. Kegigihan mereka membela pohon sudah tidak usah diragukan lagi dan melahirkan tragedi di tahun 1730. Diawali pada saat raja penguasa wilayah Jodhpur, bernama Maharjah Abhay Singh berencana untuk membangun istana baru.  Untuk memenuhi kayu yang cukup banyak, maka diputuskan untuk menebangnya dari hutan di dekat wilayah komunitas Bishonis.

Namun penebangan hutan ternyata tidak bisa berlangsung mulus. Seorang wanita bernama Amrita Devi tampak gigih mempertahankan hutannya dengan memeluk pohon yang hendak ditebang dan kemudian diikuti oleh 363 orang warga lainnya.  Aksi heroik ini akhirnya berakhir tragis. Pihak pengusaha penguasa memutuskan mengambil jalan keras yaitu dengan mengirim pasukan tentara dan kejadian tragispun terjadi.

Seluruh anggota “Frant Pembela Pohon” tersebut tewas dihabisi oleh tentara pemerintah. Aksi heroik sejumlah warga tersebut akhirnya dikenang dan diperingati dengan mendirikan tugu peringatan dan tugu tersebut sampai sekarang masih ada. Kisah ini dikenal dengan nama Tragedi Khejarli

250px_front-pembela-pohon1Tugu untuk memperingati kematian 363 warga pembela pohon. Sumber Wikipedia

Pantang menebang pohon sembarangan

Komunitas Bishnois, sang pembela pohon ini adalah masyarakat yang cinta damai. Ini bukan sekedar slogan saja tapi betul betul diterapkan dalam prilaku. Sebutan cinta damai juga bukan mereka yang mengatakan (menyebut diri) tapi orang orang lain yang mengatakannya. Prilaku cinta damai bisa nilai dari kehidupan mereka yang selaras dan harmonis dengan hutan dan pohon, tanpa merusak ataupun menebangnya sembarangan. Mereka pantang untuk menebang pohon, kecuali kalau pohonnya sudah mati. Sedangkan untuk kebutuhan kayu bakar mereka kotoran sapi yang sudah dikeringkan.

Kemudian mereka juga menghindari kekerasan terhadap mahluk lain. Mereka berpola hidup bervegetarian atau tidak makan daging alias tidak menyemblih binatang apalagi menyemblih manusia! Di komunitas mereka, berbagai binatang liar seperti rusa dan burung merak  hidup damai dan berdampingan. Bayangkan saja burung merak yang berharga mahal itu berkeliaran di pekarangan layaknya ayam, tanpa ada yang berusaha untuk menangkap dan menjualnya.

Pada gambar di atas dan juga cuplikan vedeo berikut tampak seorang ibu Bishnois sedang menyusui dan membesarkan anak rusa, tidak bedanya dengan membesarkan bayi-nya sendiri. Ini adalah contoh menarik tentng kedekatan mereka dengan alam dan mahluk hidup sekitarnya. Kejadian ibu menyusui atau memelihara anak rusa adalah pemandangan umum ditemukan pada komunitas tersebut. [Sumber image: socyberty].

Kebanyakan dari mereka bekerja di bidang agrikultur, bercocok tanam system organik dan menjalankan kehidupan Eco life. Di era modern, para pemimpinnya atau istilah mudahnya pemuka agama-nya dijabat oleh orang yang memiliki pengetahuan tentang Ekologi atau ataupun akhli biologi. Kalau diurut ke belakang, mereka adalah termasuk keluarga besar sekte Vaisnava, yang merupakan bagian dari agama primitif yaitu Hinduisme.

250px-front-pembela-pohon2Tempat ibadah front pembela pohon. Sumber: wikipedia

  • :mrgreen: Jadi mereka adalah dari kelompok agama?

Ya, kurang lebih seperti itu, tapi saya lebih suka menyebutnya dengan istilah komunitas spiritual. Spiritual berasal dari kata Spirit, yang artinya yang artinya semua kehidupan memiliki spirit, roh, atau Jiwa (jiva) sehingga wajib dihormati. Binatang memiliki Jiva dan pohon-pun memiliki Jiva.

  • :mrgreen: Oo pantesan Mbah, mereka adalah kelompok agama sesat pemuja pohon khan?

Duh, bagian ini rada sulit untuk dijawab Nak. Memuja dan menghormati adalah dua kata yang kadang racu dan memancing debat kusir, terlebih lagi bagi mereka yang memang doyan debat. Menghormati kitab suci kadang rancu dengan kata menyembah kitab suci. Berziarah ke tempat suci rancu juga rancu dengan menyembah piligram, bersembahyang ke arah ke arah timur misalnya akan rancu dengan menyembah arah atau bahkan bisa jadi dianggap menyembah matahari!!

Tahukah Sampean bahwa siMbah, saat ada di rumah sangat menghindari sembahyang ke arah utara karena tepat di utara rumah Mbah ada pabrik penyosohan beras, nanti bisa bisa dianggap memuja Mesin Giling Padi. Nah, berabe bukan?

  • :mrgreen: Ok Mbah, pertanyaan diganti agar lebih mudah. Jadi para anggota front pembela pohon yang meninggal, roh-nya masuk surga atau masuk neraka Mbah?

Senteloyo, pertanyaannya ini malah lebih susah lagi bagi Nak. Jadi agar jelas silahkan tanya ke guru tokoh agama Sampean. Mereka umumnya lebih tahu dan paham hal beginian.

Menghormati pohon pada budaya di Nusantara

Membahas tentang prilaku filosofi, budaya ataupun ritual menghormati pohon atau tumbuhan sepertinya tidak hanya dimiliki oleh komunitas Bishnois saja tapi hampir merupakan bagian dari prilaku masyarakat primitif. Sebagian kecil sisa sisa budaya primitif ini masih bisa ditemukan di beberapa daerah Nusantara. [Keterangan gambar: old tree,  sumber:wikipedia]

Masyarakat Bali misalnya memiliki hari raya khusus untuk menghormati pohon atau tumbuhan yang disebut dengan Hari Raya Tumpek Uduh atau  Tumpek Wariga, diperingati 2 kali dalam setahun.  Pada hari raya tersebut, perayaan dilakukan dengan melakukan ritual kecil sebagai rasa terima kasih pada pohon atau tanaman. Dewasa ini perayaan Tumpek Uduh ini dianggap bagian dari hari raya Hindu di Bali, namun kalau dari pemahaman siMbah sepertinya upacara ini sepertinya adalah bagian atau sisa dari kepercayaan lama asli Nusantara.

Terlepas dari dari mana asalnya, yang jelas ritual perayaannya memiliki makna simbolis yang mendalam yaitu pentinghnya menghargai tumbuhan. Namun kalau melihat tata kota di Bali yang nyaris tidak memiliki hutan kota, sepertinya perayaan hari pohon selama ini tidak lebih dari perayaan ritual belaka. [Sub bagian ini ditambahkan sesuai saran Sdr Olsy]

OPINI PENUTUP

Hutan ataupun pohon memiliki arti sangat vital. Bayangkan saja kalau pohon peneduh di jalanan ditebang, pasti gersang atau bahkan panas bukan?  Bahkan kitab suci juga terbuat dari bahan kertas yang notebene dari pohon juga. Namun walaupun pohon memiliki fungsi penting, aktivitas membela pohon nyaris dianggap tidak penting. “Pohon koq dibela, emang gue burung atau serangga?”

Sejumlah orang pintar dan bijak pada jaman dulu sepertinya sudah memiliki pemahaman tentang pentingnya menjaga kelestarian dan menghargai hutan atau pohon. Ajaran tentang pelesarian alam disebarkan dengan cara unik sesuai dengan kondisi masyaraktat saat itu yaitu dengan membuat aturan tidak memasuki hutan di hari tertentu, hutan larangan, menyelenggarakan perayaan hari pohon dll. [Keterangan gambar: salah satu jenis dari pohon beringin, sumber: wikipedia]

Terlepas dari cara orang jaman dulu yang primitif dan (tentu saja) SESAT dalam melestarikan alam, yang jelas kesesatan mereka memberi andil pelestarian hutan selama berabad abad.  Sedangkan pada masyarakat (yang mengaku) modern dan melek agama sekarang ini, justru memberikan dampak prilakunya bertolak belakang yaitu melahirkan masyarakat yang nyaris tidak peduli dengan hutan atau pohonnya. Ah, tentu saja, dibandingkan membela pohon atau hutan, sepertinya jauh lebih menguntungkan membela Tuhan atau agama. “Pohon koq dibela, emang bisa masuk surga?”.

wager.png

Tulisan sejenis : Takut dan Kekerasan, oleh Sdr Olsy

[Sumber image: rajasthan.gov]

10 respons untuk ‘Front Pembela Pohon

  1. Agak sulit membayangkan apabila seluruh permukaan bumi menjadi gurun dan tidak ada sebatang pohon pun yang bisa dibubur untuk menjadi kertas yang kemudian ditulisi kalimat-kalimat mulia yang konon datang dari langit. Boleh jadi, tanpa pohon, agama tidak pernah berkembang menjadi sesadis sekarang ini. Mungkin, dengan mental yang putus asa dan pesimistik, boleh juga kita menebang seluruh pohon dimuka bumi hingga tandas sehingga tidak ada buku-buku yang konon tampak seperti buku keagamaan yang menganjurkan orang untuk baku-bunuh dan bertengkar tak habis-habis. Tapi, manusia cenderung terlalu cerdas untuk keadaan yang menimpa mereka sehingga, boleh jadi ketika pohon sudah ada, mereka serempak memahat batu-batu, tebing-tebing berbatu dan menjadikannya kitab suci.

    Bila demikian, alangkah tidak lucunya bila misa di gereja, teks misa yang semula terbuat dari kertas, kini menjadi berbongkah-bongkah batu yang dipahat. Anak SD hingga SMA yang sekarang setres berat menghadapi UN, akan lebih celaka lagi bila soal ujian ditulis di atas batu dan mereka harus memahat jawaban itu di atas batu.

    Begitulah pikiran pesimis melihat perilaku sekolompok penganut agama Abrahamik yang makin hari makin kelewatan. Namun, setidaknya, dari tulisan ini, orang bisa, kalau mau, berpikir bahwa, yang penting bukan mempromosikan tuhan yang mahaperkasa, mahakuasa, mahapendendam, hitungan, dan kadangkala megalomaniak dan adakalanya pula neurosis. Memuliakan alam raya, menghormati pohon, berdevosi kepada hutan, sungai, laut, danau, rawa-rawa, lembah, angin, lebih kontekstual kita lakoni untuk hari ini demi hidup kita hari ini dan esok. Toh, bila kita tidak bisa lagi bercakap-cakap dengan alam, merasakan embun yang menetes ke tanah di pagi hari, berbagai gagasan tuhan yang di langit itu benar-benar tidak relevan.

    Mungkin “keimanan” dan religiositas kaum Bishnois dalam kacamata hari ini, dan juga dalam kerangka beriman yang jatuh dari langit, religiositas mereka kafir dan naif. Namun langkah yang dilakukan Amrita Devi dan warga lain menunjukkan bahwa mereka bukan naif. Gerekan memelihara dan merawat tanaman, hutan, tanah adalah gambaran tuhan yang maharahim; serupa rahim yang menjaga, melindungi, membesarkan dan melahirkan kehidupan baru. Tokoh heroik dalam langgam yang sangat perempuan (rahim) ini pun berkisah juga tentang sekolompok warga di pedalaman Brazil tahun 1960-an hingga akhir 70-an ketika mereka berjuang mempertahankan hak ulayat mereka atas hutan, dikalahkan oleh penguasa yang sekaligus pengusaha lewat dukungan militer. Aduh, saya lupa nama gerakan dan tokohnya, tapi dari situ, dari perlawanan terhadap penggunaan hutan sebagai komiditas bisnis, kita kenal seorang pendidik ternama, Paolo Freire dengan Pendidikan Pembebasannya yang cukup banyak berkaitan dengan Teologi Pembebasan yang dikembangkan oleh teolog-teolog “kafir” Amerika Latin.

    Mengaitkan pesan yang saya tangkap dari tulisan ini dan juga kekaguman saya pada setiap perlawanan terhadap penindasan oleh penguasa, apalagi perlawanan terhadap penguasa yang membentengi kekejamannya lewat kulit ari agama dan oleh kepentingan pasar kapital, memandang agama sebagai sebuah bentuk adalah hal yang tidak relevan untuk hidup hari ini dan esok. Agama sudah saatnya dilihat dan dilakoni dari sudut religiositasnya, dari segi relevansinya terhadap kehidupan kita. Bila bisa demikian, saya percaya, tuhan itu hadir dalam banyak bentuk kasih sayang kepada manusia.

    Begitu khotbah saya, Mbah hehehehe… Salam.

    :mrgreen: Reply: “Saya percaya, tuhan itu hadir dalam banyak bentuk kasih sayang kepada manusia”. Nah ini dia komentar yang saya cari dan lewat komentar Nak Olsy yang OK ini saya terinspirasi menulis tentang Avatar yaitu tuhan dalam beragam bentuk yang hadir dalam kehidupan sehari hari.

    1. Wah, ditunggu tulisan yang seperti itu, Mbah. Ya, Mbah. Karena dia tuhan, karena dia berlainan dengan manusia dan dengan keberlainan itu dia tidak bisa tampak seperti kita melihat segepok uang–atau bila dia bisa tampak seperti segepok uang, justru hanya bisa dilihat oleh koruptor–perlu mengetengahkan avatar tentang tuhan yang banyak rupa tapi ada dalam satu pengertian yang umum, mengasihi dan melindungi.

  2. Usul, Mbah, soal Tumpek Uduh/Tumpek Wariga tampanya perlu ditulis juga di blog ini, Mbah. Sejauh ini religiositas masyarakat lokal hanya didukung bila itu mendatangkan fulus yang tidak tulus bagi pihak tertentu saja. Semangat di balik upacara adat semacam itu jadi luput untuk dijadikan bahan pelajaran bagi kita yang hidup di hari ini; yang selalu disuruh bergegas.

    Reply :mrgreen: Usul yang bagus. Sudah ditambahkan. Tx

  3. Mbah,

    Hutan2 di Kalimantan itu banyak yang gundul sampai saudara-2 kita Orang Utan terancam punah. Manusia modern ternyata juga bisa konyol ya, menebangi pohon-pohon ? Tuhan ada dimana-mana, Dia juga ada di hati kita,lho, jangan lupa dan jangan jauh-2 mencariNya,

    Reply 😆 Hutan digunduli oleh manusia gondrong. Orang utan jadi bingung.

  4. oh di Pulau Bali yg keren kalo Raja mangkat pohon dijalan raya pun harus menyingkir karena wadagnya besar seperti eg…..eh kekuasaannya……tebang semua, potong kabel PLN juga….rakyat harus gelap sementara waktu, jangan nonton telenovela bersambung saat sang Raja di kremasi……….kabel PLN dapat disambung kembali…..kucoba menyambung pohon, ku tak berdaya karena beratnya minta ampun lagian potongannya sudah kecil2……ah hanya hayalku menyelamatkan peneduh jalan.
    Rahayu

    1. @ Blackbirdguerilla,
      Pengamatan yang jeli. Memang seperti itulah kenyataannya. Agama saat ini tidak lebih sekedar tradisi, ritual atau identitias saja.

      Ah, andai hari pohon seperti di Bali di dayagunakan, diterjemahkan menjadi prilaku cinta alam, tentu bumi akan menjadi lebih hijau dan adem.

    2. Salam Kang WageR, Kang Blackbirdguerrilla and all.
      Memang memprihatinkan kelakuan orang-orang kita…. jauh amat bila dibandingkan dengan orang luar… di China ( Jiuzhaigou ) yang merupakan taman konservasi alam (Unesco)… rute jalan akan dibuat melingkar bila didepan jalan ada pohon… beda dengan di kita… pohonnya pasti ditebang dan rute jalannya tetap lurus… akhirnya… jalan hidup orangnya yang jadi tidak lurus… hehehe.

Nama, mail dan website BOLEH diKOSONGkan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.