Agama Tolotang

Artikel Copy Paste
tolotang-2205333Oleh : Nasaruddin Umar | Rabu, 20 Mei 2015 | 02:04 WIB

INILAH.COM – Suku Tolotang terletak di bagian selatan Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Tolotang dari akar kata To artinya orang dan Lotang artinya selatan. Disebut Tolotang karena komunitas ini tinggal di Sidenreng di wilayah Amparita dan menyebut diri sebagai To Lotang.

Mereka disebut Tolotang karena mereka semua tinggal di sebelah selatan pasar Sidenreng. Komunitas ini memisahkan diri dari komunitas muslim yang mayoritas di wilayah itu.

Komunitas Tolotang memiliki sejarah panjang, tetapi intinya mereka berasal dari wilayah Wajo yang sekarang menjadi Kabupaten Wajo. Pada awal abad ke 17 Wajo mengalami proses islamisasi besar-besaran setelah taklukkan oleh raja Gowa, Sultan Alauddin.

Di bawah kepemimpinan raja La Sangkuru Arung Matoa, Wajo secara resmi masuk agama Islam. Dalam masyarakat tradisional apa kata raja itu kata rakyat. Raja mengeluarkan maklumat agar seluruh warga kerajaan Wajo mengikuti agama Islam.

Sebagian besar penduduk mematuhi maklumat raja tetapi sebagian kecil dari masyarakat yang tinggal di wilayah Wani tidak mau mengikuti perintah itu. Akhirnya mereka hijrah ke Sidenreng dan versi lain mengatakan mereka terdesak ke Sidenreng setelah melakukan perlawanan terhadap pasukan Raja.

Sidenreng, La Pattiroi, disebut adat mappura onrona Sidenreng. Inti perjanjian ini antara lain, adat harus dihormati, keputusan harus ditaati, janji harus ditepati, keputusan yang telah ada harus dilanjutkan, dan agama harus ditegakkan ditegakkan.

Dalam bagian lain perjanjian itu, komunitas Tolotang wajib melakukan ritual pemakaman dan pernikahan secara Islam. Ketika raja mulai menerapkan kebijakan untuk memaksakan dua ritual yang harus diikuti masyarakat Tolotang dan selama bertahun-tahun menaati perjanjian itu.

Namun sejak pada masa pendudukan Jepang, komunitas muslim mulai menolak pemakaman anggota komunitas Tolotang. Hal ini membuat komunitas Tolotang merasa tersingkirkan, akhirnya orang-orang tolotang menjalankan pemakaman sendiri sesuai dengan tradisinya.

Komunitas ini sudah semakin terpinggirkan oleh masyarakat, bahkan dalam masa DI/TII orang-orang Tolotang sering menjadi sasaran tembak. Suatu ketika orang-orang Tolotang di desa Otting dibantai sehingga sebagian di antaranya lari ke Amparita.

Di daerah ini komunitas Tolotang bergabung dengan TNI melalui Pasukan Sukarela demi memberantas DI/TII. Semenjak itu komunitas Tolotang semakin berhadap-hadapan dengan umat Islam. Semula komunitas Tolotang masih menggunakan KTP Islam tetapi belakangan mereka mendaftarkan diri sebagai salah satu sekte agama Hindu.

Pengakuan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Budha, No.2 Tahun 1966, tertanggal 6 Oktober 1966. Surat Keputusan tersebut disempurnakan kemudian dengan Surat Keputusan No. 6 Tahun 66, tertanggal 16 Desember 1966.

Inti agama atau kepercayaan Tolotang antara lain bertumpu pada lima keyakinan, yaitu: 1) Percaya adanya Dewata SeuwaE (Tuhan YME), 2) Percaya adanya hari kiamat, 3) Percaya adanya hari kemudian, 4) Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan, 5) Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan leluhur.

Keunikan kepercayaan ini juga dapat dilihat dari berbagai bentuk upacara ritualnya yang berbeda dengan ajaran Islam. Di antaranya bisa kita lihat pada puncak upacara ritual mereka berupa ziarah ke Makam I Paqbere di Desa Perrinyameng, Kelurahan Amparita, Kabupaten Sidrap.

Para penganut kepercayaan Tolotang berkumpul dan duduk di atas rumput di bawah rindangnya pepohonan dengan penuh ketenangan dan rasa khikmat mereka mengikuti upacara ritual itu yang dipimpin oleh para Uwaq, sebuah istilah yang lazim diberikan kepada seorang atau sosok figur yang berwibawa. [*]

http://mozaik.inilah.com/read/detail/2205333/agama-tolotang-di-sidrap

 Artikel Copy Paste

2 respons untuk ‘Agama Tolotang

  1. Menarik bagaimana agama-agama lokal seperti ini ikut tunduk pada sila pertama Pancasila dengan menambahkan sila pertama di doktrin pertama mereka. Mungkinkah sebelum ada Pancasila, di agama Tolotang ada monoteisme?

    1. Salam Mas ARKAN,

      Entahlah. Menurut saya, agarma lokal tidak memiliki konsep, tidak mengenal istilah ataupun kurang fokus pada bahasan monoteisme atau politeisme. Mereka hanya perlu media atau sarana untuk mengekpresikan rasa syukur yang diekpresikan dengan beragam ritual, festival dll. Dengan beragam ritual inilah norma, manner dan aturan sosial dan kebersamaan ditumbuhkan sehingga tercipta keseimbangan antar manusia, alam dan tuhannya.

      Polytheisme lawannya adalah monotehisme. Ajaraan monoteisme dianggap lebih superior atau benar dibandingkan polyteisme. Menurut saya, ini hanya sekedar konsep saja. Zaman sekarang, mana ada agama yg percaya pada banyak tuhan? Nyaris semua agama menyebutkan diri percaya pada satu tuhan.

      Menurut saya sih, poly, mono atau stereo itu tidak penting-penting amat. Yang lebih utama adalah kebersamaan, ketertiban dan mampu menghargai perbedaan, baik kepercayaan, pendapat atau cara hidup orang lain.

      Selaras dengan asas Pancasila, menurut saya itu sudah lebih dari cukup dan semua itu adalah merupakan pondasi dasar dalam beragama di negeri ini.

      salam

Nama, mail dan website BOLEH diKOSONGkan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.